cerama atau khutba Perbuatan Jahiliyah yang Sulit Ditinggalkan

 

Perbuatan Jahiliyah yang Sulit Ditinggalkan


Perbuatan Jahiliyah yang Sulit Ditinggalkan

Assalāmu ‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul, mendengar nasihat, dan memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, sahabatnya, serta seluruh umatnya yang mengikuti sunnah beliau hingga akhir zaman.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa kebiasaan manusia itu sangat kuat melekat dalam hati, baik kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang buruk. Apa yang sering dilakukan, akan menjadi tabiat, menjadi watak, dan sulit ditinggalkan. Bahkan kebiasaan buruk yang diwariskan secara turun-temurun kadang menjadi budaya, dan budaya itu kemudian dianggap hal biasa meskipun bertentangan dengan syariat. Maka dari itu, Allah Subhanahu wa Ta‘ala dalam Al-Qur’an selalu mengingatkan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi segala sifat jahiliyah yang merusak akhlak.

Allah berfirman:

﴿ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ﴾
"Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan."
(QS. Al-Mā’idah: 2)

Ayat ini sekaligus menuntun kita bahwa apa pun keadaan kita — wajah tampan atau tidak, keturunan tinggi atau tidak, status sosial tinggi atau rendah — yang dinilai Allah hanyalah kebaikan dan ketakwaan, bukan kelebihan duniawi yang sering dijadikan sumber kesombongan.

1. Meninggikan Wajah, Harta, dan Nasab — Akar Jahiliyah yang Sulit Hilang

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kadang ia merasa dirinya lebih tampan, lebih kaya, lebih terhormat, lebih tinggi nasabnya, atau lebih pintar. Kemudian ia menjadikan semua itu sebagai alasan untuk menghinakan orang lain.

Padahal Allah mengingatkan:

﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ﴾
"Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."
(QS. Al-Hujurāt: 13)

Ayat ini menutup pintu kesombongan berdasarkan bentuk fisik, keturunan, harta, dan status sosial.

Sayangnya, sifat jahiliyah itu tetap hidup dalam sebagian kaum Muslimin.

2. Hadis Nabi: “Tiga Hal Jahiliyah yang Tidak Akan Hilang dari Umatku”

Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:

« ثَلَاثٌ مِنْ أُمُورِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُهُنَّ أُمَّتِي: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ »
*"Tiga perkara dari jahiliyah yang tidak akan ditinggalkan oleh umatku:

  1. Berbangga-bangga dengan keturunan,
  2. Mencela nasab orang lain,
  3. Meminta hujan kepada bintang-bintang."*
    (HR. Muslim)

Hadis ini langsung sesuai dengan ceramah yang sedang kita bahas: bahwa meninggikan keturunan dan merendahkan orang lain adalah sifat jahiliyah yang bahkan tetap muncul sampai hari ini.

3. Contoh Nyata dari Kehidupan — Pengalaman Anda Sendiri

Sebagaimana pengalaman Anda yang pernah melihat ada seorang ibu di kampung — sekitar 20 tahun yang lalu — yang selalu mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan bangsawan. Ia membanggakan nasabnya dan merendahkan warga lain dengan mengatakan:

"Mereka itu semua keturunan biasa-biasa saja, sementara saya berasal dari keturunan bangsawan. Jadi kalian harus hormat kepada saya."

Ia bahkan menyampaikan itu kepada seorang anak kecil berusia sekitar 14 tahun. Itulah sifat jahiliyah: meninggikan diri atas dasar keturunan.

Namun dengan izin Allah, ibu itu dikaruniai seorang anak yang justru memiliki pemahaman agama yang baik. Anak itu tumbuh bukan sebagai orang yang sombong, dan bahkan ia pernah menegur ibunya sendiri ketika sang ibu membanggakan nasab.

Inilah pelajaran penting:
Ilmu agama dapat mengikis kesombongan, meskipun seseorang berasal dari keluarga yang sering menanamkan sifat takabbur.

4. Kisah Sahih Sebagai Pengganti Kisah yang Tidak Jelas Sumbernya

Karena kisah yang Anda sebutkan sebelumnya tidak jelas sumbernya, maka saya menggantinya dengan kisah sahih, yaitu kisah Bilal bin Rabah radhiyallāhu ‘anhu.

Kisah Bilal dan Abu Dzar — Hadis Sahih

Dikisahkan bahwa Abu Dzar pernah marah kepada Bilal dan mengatakan:

"Wahai anak wanita hitam!"

Bilal tersinggung dan melaporkannya kepada Nabi. Maka Rasulullah memanggil Abu Dzar dan menegurnya dengan keras:

« إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ »
"Sesungguhnya engkau masih memiliki sifat jahiliyah."
(HR. Bukhari & Muslim)

Apa yang dilakukan Abu Dzar?

Ia langsung menyesal, meletakkan pipinya di tanah dan berkata kepada Bilal:

"Letakkan kakimu di atas pipiku sebagai bentuk penghukumanku atas kesalahanku."

Bilal menolak karena ia memaafkannya.

Pelajaran penting dari kisah sahih ini:

  • Kesombongan ras, suku, atau warna kulit adalah sifat jahiliyah.
  • Merendahkan nasab orang lain dilarang keras oleh Nabi.
  • Orang yang berilmu dan beriman akan segera bertaubat ketika ditegur.

5. Pendapat Para Ulama Tentang Kesombongan Nasab

Imam Al-Ghazali

Dalam Ihya’ Ulumuddin, beliau mengatakan:

"Kesombongan atas nasab adalah kebodohan. Sebab nasab tidak bermanfaat kecuali bagi orang yang mengikuti kebaikan nenek moyangnya."

Imam Nawawi

Dalam Syarah Shahih Muslim, beliau menegaskan bahwa membanggakan nasab adalah termasuk dosa besar, karena Nabi memasukkannya dalam sifat jahiliyah.

Ibnu Taimiyah

Beliau berkata:
"Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab kecuali dengan takwa."

Ulama Kontemporer — Syaikh Shalih Al-Munajjid

Beliau menjelaskan bahwa “fanatisme keturunan” adalah pintu awal munculnya permusuhan, perpecahan, dan hilangnya persaudaraan.

6. Menghubungkan Zaman Dulu dan Zaman Sekarang

Pada zaman jahiliyah sebelum Islam:

  • Keturunan menjadi tolak ukur kehormatan
  • Suku menjadi sebab permusuhan
  • Anak bangsawan merasa boleh merendahkan rakyat biasa

Rasulullah datang untuk menghancurkan seluruh sistem itu.

Beliau bersabda:

« لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلَّا بِالتَّقْوَى »
"Tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab kecuali dengan takwa."

Namun pada zaman sekarang, sisa-sisa jahiliyah itu masih muncul dalam berbagai bentuk:

  • Merasa lebih tinggi karena gelar atau pendidikan
  • Merendahkan orang miskin
  • Menghina fisik
  • Menjelekkan keluarga orang lain
  • Bangga pada marga dan suku hingga merendahkan suku lain
  • Merasa lebih mulia karena keturunan bangsawan

Islam memutus semua rantai kesombongan itu.

7. Penegasan Al-Qur’an Tentang Nasab Tidak Berguna di Akhirat

Allah berfirman:

﴿ فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ ﴾
"Ketika sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi hubungan nasab di antara mereka pada hari itu."
(QS. Al-Mu’minūn: 101)

Artinya:

  • Ketika di akhirat,
  • orang tua tidak bisa menolong anaknya,
  • anak tidak bisa menolong orang tuanya,
  • keturunan tidak bisa menyelamatkan seseorang.

Yang tersisa hanyalah amal baik.

8. Hadis Pendukung: Nasab Tidak Menyelamatkan

Rasulullah bersabda:

« مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ »
"Siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat (menyelamatkan) dirinya."
(HR. Muslim)

Inilah penegasan keras bahwa nasab bukan tiket menuju surga.

9. Mengaitkan dengan Realitas Umat Islam Kini

Meninggikan keturunan ini banyak terjadi:

  • Di kampung
  • Di keluarga
  • Di majelis
  • Di kelompok masyarakat
  • Di organisasi kemasyarakatan

Bahkan kadang terjadi tanpa disadari:

  • Membuat batasan “kami keturunan ini, mereka keturunan itu”
  • Menyombongkan gelar keluarga
  • Menghina orang yang tidak punya marga besar
  • Menganggap diri lebih pantas dihormati

Semua ini termasuk sisa-sisa jahiliyah.

10. Pelajaran Besar Untuk Kita Semua

Dari ayat, hadis, kisah sahih, pendapat ulama, dan pengalaman Anda, maka pelajarannya adalah:

  1. Jangan bangga dengan keturunan
  2. Jangan menghina asal-usul orang lain
  3. Yang dinilai Allah adalah ketakwaan
  4. Akhlak lebih tinggi dari nasab
  5. Ilmu agama dapat memadamkan kesombongan
  6. Orang baik adalah yang menjaga lisannya
  7. Umat Islam harus menyingkirkan sisa-sisa jahiliyah
  8. Kesombongan akan menghancurkan amal

11. Penutup Ceramah

Sebagai kesimpulan, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan bahwa meninggikan keturunan dan merendahkan orang lain adalah perbuatan jahiliyah. Allah sendiri menegaskan bahwa yang paling mulia adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling tampan, bukan yang paling kaya, bukan yang paling bangsawan.

Allah melihat hati dan amal, bukan garis keturunan.

Maka dari itu, marilah kita bersama-sama membersihkan hati dari sifat sombong, dari rasa lebih baik daripada orang lain, dan dari kebiasaan membanggakan nasab. Tingkatkan iman, perbaiki akhlak, dan dekatkan diri kepada Allah agar ibadah terasa ringan.

Semoga ceramah ini menjadi pengingat bagi kita semua dan menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Wassalāmu ‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.


Sumber : https://alhikmacinong.blogspot.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kunci jawaban bimbingan dan konseling pintar kemenag 3.2 latihan ke 1

Kunci jawaban pablik sepeaking pelatihan pintar kemenag 3.3 bagian 3

orang pintar menurut Rasulullah